Fakultas Syariah UIN Salatiga Gelar Kuliah Tamu: Mengupas Prinsip Monogami dalam Perkawinan Adat Samin Kudus

Salatiga, 15 September 2025 – Tradisi perkawinan masyarakat Samin kembali menjadi perhatian akademisi. Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga menggelar kuliah tamu dengan tema “Exploring the Monogamy Principle in the Samin Community’s Customary Marriages in Kudus: Harmonisation of Tradition and State Law”, Senin (15/9). Acara yang berlangsung melalui ruang virtual zoom meeting ini menghadirkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, Dr. Iman Fadhilah, M.S.I., sebagai narasumber.

Kuliah tamu yang diinisiasi oleh redaktur Jurnal Ijtihad ini dipandu oleh Ahmadi Hasanudin Dardiri, M.H., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam UIN Salatiga, serta dibuka oleh Prof.Dr. Ilyya Muhsin, M.Si., (Dekan Fakultas Syariah UIN Salatiga). Sekira 150 peserta turut hadir melalui zoom meeting yang terdiri dari para dosen, mahasiswa dan para pemerhati hukum keluarga. Hadir pula civitas akademika dari berbagai kampus dan pengurus Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam (ADHKI), sehingga forum berlangsung dengan nuansa interaktif dan lintas perspektif.

Prof. Dr. Ilyya Muhsin dalam opening speech menyampaikan bahwa kuliah tamu ini merupakan agenda diskusi bulanan yang diinisiasi Editor in Chief dan Managing Editor Jurnal Ijtihad dengan menghadirkan narasumber dari berbagai perguruan tinggi lain. Acara ini sekaligus menjadi implementasi kerja sama antara Fakultas Syariah UIN Salatiga dengan Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim.

“Tema ini dipilih karena masyarakat Samin memiliki banyak keunikan yang membedakan mereka dari kelompok lain. Pertanyaannya, apakah keunikan-keunikan itu masih bertahan di tengah arus perubahan zaman, ataukah mulai pudar? Inilah yang perlu terus diteliti,” tutur Prof. Ilyya.

Ia berharap kegiatan ini tidak berhenti sebagai forum diskusi semata, melainkan menjadi inspirasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya, terutama yang mengkaji hubungan antara hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara.

Dalam paparannya, Dr. Iman menjelaskan bahwa komunitas Samin di Desa Lirikrejo, Kudus, sejak lama memegang teguh prinsip monogami yang dikenal dengan ungkapan bojo siji kangge selawase (satu istri untuk selamanya). Prinsip ini tidak hanya sekadar aturan sosial, tetapi juga dihayati sebagai sumpah janji oleh wong sikep dalam setiap ikatan perkawinan.

“Bagi masyarakat Samin, monogami bukan hanya pilihan, melainkan komitmen yang menyatu dengan cara hidup mereka. Prinsip ini dijalankan untuk menjaga stabilitas rumah tangga, mencegah konflik, dan memastikan keharmonisan keluarga tetap terjaga,” ungkap Dr. Iman.

Ia menambahkan, poligami masih menjadi topik kontroversial di banyak negara muslim dengan variasi regulasi yang berbeda. Di Indonesia sendiri, praktik poligami diperbolehkan dengan syarat yang ketat, namun tidak semua komunitas memilih jalan tersebut. “Komunitas Samin justru mengambil sikap tegas, mereka menolak poligami karena diyakini dapat memicu pertengkaran dan keretakan rumah tangga,” ujarnya.

Seiring perubahan zaman, muncul pertanyaan apakah prinsip monogami ini masih tetap dijalankan atau mulai tergerus modernisasi. Dr. Iman menilai, hingga kini nilai tersebut masih kuat melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Samin. “Modernisasi membawa banyak perubahan, tetapi tidak serta-merta menghapus nilai-nilai yang mereka pegang. Prinsip bojo siji kangge selawase tetap menjadi fondasi yang dijaga sebagai bentuk kesetiaan,” katanya.

Ia juga menekankan bahwa keberadaan prinsip monogami Samin patut diperhatikan dalam diskursus akademik karena mampu menunjukkan bagaimana komunitas adat menafsirkan aturan keluarga dengan caranya sendiri. Di sisi lain, praktik ini dapat dibaca sebagai upaya harmonisasi antara hukum negara dan hukum adat.

Suasana diskusi berlangsung dinamis. Peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, hingga pengurus ADHKI aktif mengajukan pertanyaan. Beberapa di antaranya menyoroti bagaimana prinsip monogami Samin dapat dipandang sebagai kearifan lokal yang sejalan dengan nilai hukum keluarga Islam, sekaligus mempertanyakan tantangan yang muncul jika generasi muda Samin mulai bersentuhan lebih intens dengan dunia luar.

Dr. Iman menjawab dengan menekankan pentingnya melihat konteks sosial. “Adat tidak berdiri sendiri, ia hidup bersama masyarakat. Jika generasi muda masih merasa relevan dengan prinsip monogami ini, maka ia akan bertahan. Tetapi jika ada perubahan, maka hukum adat pun akan menyesuaikan diri. Yang penting, nilai dasar berupa kesetiaan dan keharmonisan tetap dijaga,” jelasnya.

Diskusi ini juga memperlihatkan bagaimana hukum adat dapat berjalan seiring dengan regulasi negara. Dalam konteks hukum keluarga di Indonesia, perkawinan monogami adalah prinsip dasar, meski poligami tetap terbuka dengan syarat ketat. Dengan demikian, praktik perkawinan masyarakat Samin tidak hanya sejalan dengan nilai adat mereka, tetapi juga selaras dengan ketentuan negara.

Bagi banyak akademisi yang hadir, fenomena ini menarik karena memperlihatkan titik temu antara tradisi dan regulasi. Kajian semacam ini juga memperluas pemahaman tentang bagaimana hukum bekerja di level lokal, yang sering kali berbeda dengan gambaran umum di masyarakat luas.

Acara kuliah tamu Fakultas Syariah UIN Salatiga ditutup dengan harapan bahwa diskusi lintas kampus ini dapat terus berlanjut. Selain memperkaya pengetahuan akademik, forum semacam ini juga membuka ruang untuk riset kolaboratif yang lebih mendalam.

“Diskusi ini bukan akhir, melainkan awal dari kajian yang lebih luas. Semoga semakin banyak peneliti yang tertarik untuk meneliti komunitas Samin, tidak hanya soal perkawinan, tetapi juga aspek sosial dan budayanya yang lain,” pungkas Prof. Ilyya.

Dengan demikian, kuliah tamu ini tidak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga mempertegas pentingnya menjaga dialog antara tradisi dan hukum negara. Di tengah arus modernisasi, prinsip monogami ala Samin tetap memberi pelajaran bahwa kesetiaan dan keharmonisan adalah fondasi keluarga yang tak lekang oleh waktu.