Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) Semakin Meningkat, Mengapa?: Problematika yang Menarik Untuk FaSya IAIN Salatiga Gelar Kuliah Tamu Dengan Komisi Yudisial (KY RI)

FaSyaIAINSalatiga-Berlangsung di Aula Kampus II IAIN Salatiga dan disiarkan langsung melalui Zoom Meeting, Channel Youtube dan Facebook (23-10-2020), FaSya IAIN Salatiga menggelar acara kuliah tamu yang menghadirkan pembicara langsung dari Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI), Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum yang menjabat sebagai Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY. Acara yang bertemakan “Problematika Pengawasan Integritas Dan Penegakan Kode Etik Hakim di Indonesia” terselenggara dari kerjasama antar institusi dan sekaligus berawal dari niat sosialisasi dari pihak KY tentang informasi bagaimana peran dan sampaimana pengawasan KY terhadap hakim di Indonesia yang sampai saat ini masih banyak tersebar data kenaikan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Turut menghadiri dalam acara, Dr. Agus Waluyo yang menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik IAIN Salatiga dan memberikan pemaparan dalam pembukaan acara bahwa “segenap pimpinan IAIN Salatiga mengapreasi acara ini berlangsung sehingga out pun acara ini bisa kita dapat, khususnya para mahasiswa FaSya pada saatnya nanti tiba apabila bergabung dalam kehakiman sudah paham tentang kode etik untuk menjadi hakim yang profesional”.

Masuk dalam acara inti kuliah tamu, berdasarkan UU nomor 18 tahun 2011 tentang perubahan atas uu Nomor 22 Tahun 2004 menjelaskan bahwa KY berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Integritas dalam diri seorang hakim mengambil peran yang sangat besar dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial di Indonesia. Namun alih-alih menjaga marwah kekuasaan kehakiman, mafia peradilan dan krisis integritas masih terus melanda hakim Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data laporan akhir tahun dari KY pada tahun 2019, telah menerima 1.544 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam laporan akhir tahun 2019 tersebut, terdapat 130 hakim yang dijatuhkan sanksi oleh KY.

Jumlah ini meningkat cukup signifikan dibanding dengan tahun 2018 yang hanya 63 sanksi. Sedangkan menurut data dari KPK sepanjang tahun 2012 hingga tahun 2019 terdapat 20 hakim yang tersandung kasus korupsi. Tingginya kasus pelanggaran kode etik serta rentetan kasus korupsi yang dilakukan oleh hakim-hakim di Indonesia pada akhirnya telah melahirkan public distrust terhadap lembaga peradilan, tegas Aidul.

Sementara itu dalam melaksanakan wewenangnya Komisi Yudisial mengalami pasang surut dalam perkembangannya, sebut saja dengan lahirnya UU nomor 50 Tahun 2009 sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama. Lahirnya UU ini dilatarbelakangi oleh oleh Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Sedangkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan Kedua Atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan akuntabilitas hakim.

Perubahan pokok dalam UU No. 50/2009 pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara konstitutif, tutup Aidul.