PBAK UIN Salatiga: Menjembatani Perbedaan dengan Moderasi Agama sebagai Solusi Integritas Mahasiswa

Penulis : Rini Risdayanti dan Mulia Najwa, editor: Hijri

Salatiga, 21 Agustus 2024 — Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Syariah (FaSya) UIN Salatiga menghadirkan H. Jazilus Sakhok, M.A., Ph.D., sebagai pemateri utama dalam acara Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) di Ma’had al-Jami’ah kampus. Dengan tema “Moderasi Agama: Peran Mahasiswa Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Moderasi Agama Di Lingkungan Kampus,” acara ini menyoroti pentingnya moderasi agama dalam kehidupan kampus dan masyarakat.
Dalam presentasinya, Jazilus memaparkan bahwa kehidupan masa depan sangat bergantung pada prinsip-prinsip dasar. Ia menekankan pentingnya peran mahasiswa dalam perubahan sosial, menyatakan, “Mahasiswa adalah aktor perubahan sekaligus korban dari perubahan. Kalian adalah produsen dan konsumen kebudayaan yang menjadi bagian dari transformasi sosial.”


Jazilus juga menegaskan bahwa persatuan merupakan modal dasar untuk memperjuangkan transformasi sosial yang lebih baik. “Sebagai bagian dari pendulumisme Indonesia, mahasiswa harus menjadi juru bicara narasi moderasi beragama,” ujarnya. Ia menambahkan, “Perubahan adalah keniscayaan. Satu-satunya hal yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.”
Menurut Jazilus, moderasi agama harus diaktualisasikan melalui tiga bentuk dialog: dialog kepala, dialog tangan, dan dialog hati. “Indonesia dibentuk oleh keberagaman, bukan oleh satu entitas tertentu,” katanya. Ia juga mengingatkan bahwa Islam bukan hanya soal Izzul Islam Wal Muslimin, tetapi juga tentang Rahmatan lil Alamin.
Lebih lanjut, Jazilus menekankan bahwa Indonesia memiliki infrastruktur yang mendukung pembentukan manusia moderat. “Perubahan adalah adik kandung waktu. Ketika waktu berdetak, perubahan bergerak bersamanya. Namun, kita yang harus membimbing perubahan tersebut agar membawa berkah bagi kemanusiaan,” jelasnya. “Perdamaian bukanlah tujuan akhir, tetapi prasyarat untuk mencapai tujuan yang lebih besar.”
Dalam sesi tanya jawab, Dafa Rifqi dari program studi Hukum Ekonomi Syariah (HES) bertanya tentang tantangan utama dalam moderasi beragama di Indonesia. Jazilus menjelaskan bahwa tantangan terbesar adalah pola pikir masyarakat. “Teknologi mungkin netral, tetapi pandangan kita yang menentukan perbedaannya. Pancasila dan konsep Islam sebagai Rahmatan lil Alamin adalah penyeimbang penting untuk menanggulangi ekstrimisme,” tutup Jazilus Sakhok.
Acara ini memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya moderasi agama dan peran mahasiswa dalam menciptakan lingkungan yang toleran dan harmonis, baik di kampus maupun dalam masyarakat luas.